Tuesday, April 15, 2025

Breaking News
>> Desain Brief : Struktur Umum Desain Brief yang Sukses  >> Yang Perlu Anda Ketahui Tentang Desain Logo   >> Personal Profile  >> Syekh Ali Jaber : Luar Biasa ! Kemuliaan Orang Yang Berdzikir  >> Syekh Ali Jaber : Selamat dari Api Neraka  >> Syekh Ali Jaber : Fungsi Sholat Sunnah adalah Menutupi Kekurangan Sholat Wajib    

Laman

Wednesday, 28 July 2021

Hijab, Harmonisasi Keluarga dan Transformasi Sosial

Oleh : Nur Afika Firanti


Dalam pandangan mayoritas muslim, jilbab merupakan sebuah kewajiban yang melekat pada diri setiap muslimah. Pandangan umum ini mengartikan jilbab sebagai sebuah kain yang menutupi kepala hingga ke bagian dada yang berfungsi untuk menutup “aurat” dan dipandang sebagai tameng yang akan melindungi perempuan ketika ia beraktifitas di ranah sosial. Namun, anggapan yang melihat Jilbab mampu untuk melindungi perempuan dari berbagai pelecehan di ranah sosial, sepertinya perlu untuk ditinjau kembali.

Dalam survey terhadap 62.224 orang yang diadakan oleh koalisi masyarakat sipil dimana terdiri dari Hollaback! Jakarta, PerEMPUan, Lentera Sintas Indonesia dan beberapa komunitas lainnya, mendapatkan hasil bahwa perempuan berjilbab yang menjadi korban pelecehan menyentuh angka hingga 17%. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa dengan adanya jilbab yang digunakan oleh perempuan, tak meniscayakan ia akan terhindar dari pelecehan. Selain itu, apa arti dari sehelai kain yang menutupi sebagian tubuh itu ketika bahkan tubuh yang mengenakannya masih dapat dibayangkan tanpa busana dalam imajinasi orang lain yang melihat ataupun tak melihatnya? Ketika jilbab itu tak meniscayakan perlindungan terhadap perempuan dari pelecehan, lalu apa peran jilbab yang sesungguhnya?

Berdasarkan sejarah, sebelum islam hadir diketahui beberapa agama samawi lainnya juga telah mengenal budaya menutupi kepala dengan kain. Dimana dalam ajaran taurat (Yahudi), jilbab dikenal dengan istilah Tif’eret. Dalam Injil (Nasrani) dikenal sebagai Zaif/Re’alah. Dan menurut beberapa wacana, Code Hamurabi pada 2000 SM di kota tua Mesopotamia telah mengenal budaya jilbab mendahului yang lainnya. Olehnya, tak pelak timbul berbagai pandangan seperti Al-Asymawi dalam bukunya “Kritik Atas Jilbab” yang melihat tradisi berjilbab dikalangan sahabat dan tabi’in lebih merupakan keharusan budaya daripada keharusan agama.
Lantas pertanyaan yang layak kita bahas selanjutnya ialah, bagaimana konsep dari jilbab itu sendiri dalam pandangan islam? Jika merujuk kepada Al-Quran, Al-Asymawi melihat bahwa perlu dibedakan 3 konsep tentang Hijab, Jilbab dan Kerudung. Ayat tentang Hijab terdapat dalam QS. Al-Ahzab:53 yang dimana ayatnya berkaitan dengan perintah kepada sahabat untuk meminta sesuatu kepada istri Nabi dari balik Tabir/Hijab. Jelas disini bahwa Hijab adalah sebuah kain atau tabir untuk istri nabi. Selanjutnya, Ayat tentang jilbab dapat ditemui pada QS. Al-Ahzab:59, yang bernarasi agar perempuan muslim menutupkan Jilbabnya keseluruh tubuh agar mereka lebih mudah untuk dikenali. Dalam beberapa pandangan melihat bahwa sebab dari turunnya ayat jilbab ini ialah karena pada saat itu terdapat orang-orang jahat yang mengganggu perempuan-perempuan di luar rumah. Dan ketika ditanya mengapa mereka melakukan tersebut, alasannya karena mereka menyangka perempuan-perempuan tersebut adalah seorang budak. Olehnya beliau mengklaim, turunlah ayat ini dengan tujuan agar perempuan muslim dapat dibedakan dengan hamba sahaya pada masa itu.
Pertanyaan yang seharusnya terbersit dalam benak adalah apakah ketika pada zaman dimana telah tidak ada hamba sahaya, apakah jilbab ini masih harus digunakan? Selain itu, yang menjadi perdebatan sengit dalam beberapa pandangan ialah terkait konsep jilbab. Ini disebabkan tidak ada konsep yang jelas dalam Al-Quran terkait jilbab itu sendiri. Olehnya ada yang memandang bahwa jilbab itu merupakan sebuah kerudung yang menutupi kepala, ada yang memandang bahwa jilbab adalah pakaian yang menutupi dari atas kepala sampai bawah kaki, dan ada yang mengartikan jilbab yang berasal dari kata jalabib sebagai sebuah mantel. Terakhir, terkait dengan kerudung yang dapat ditemui dalam QS An-Nur :31, “.. dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya ..” yang dalam sebagian pandangan melihat bahwa turunnya ayat untuk menutupkan kain kerudung ke dada ini hanya bertujuan untuk meluruskan tradisi perempuan pra islam yang menggunakan kerudung dan menyampirkannya kebelakang sehingga tampaklah dadanya
Oleh karena alasan-alasan inilah kemudian, Al-Asymawi melihat tradisi berhijab (yang sering diartikan sebagai jilbab) lebih merupakan sebuah keharusan budaya daripada keharusan agama. Ia mengaitkan pandangannya ini dengan QS Al-Baqarah : 256 “la ikra fiddin”, “Tak ada paksaan dalam beragama”. Sehingga beliau simpulkan, hal yang masih dalam perdebatan tersebut tidak dapat dijadikan landasan hukum wajib atau tidak, hingga sampai digunakan sebagai dasar pengklaiman kafir atau tidaknya seseorang.
Namun, terlepas dari semua perdebatan tersebut, yang menjadi permasalahan kita saat ini ialah berkenaan dengan keamanan perempuan itu sendiri dalam ranah sosial. Ketika jilbab yang dalam beberapa pandangan diklaim mampu untuk membuat aman perempuan dari berbagai bahaya yang mungkin saja mendatanginya sehingga ia diwajibkan berjilbab, namun pada faktanya masih banyak terdapat perempuan berjilbab yang mendapatkan pelecehan baik itu secara verbal hingga seksual.
Disini kita mendapatkan alternatif lain dalam menjawab permasalahan ini. Ayatullah Murtadha Muthahhari dalam bukunya “Filsafat dan Teologi Hijab”, beliau menawarkan sebuah solusi berupa konstruksi atas hijab. Hijab dalam artian ini dibangun sebagai konsep relasi antara perempuan dan laki-laki dalam ranah sosial. Dimana diharuskan adanya pembatasan relasi hasrat dalam lingkungan masyarakat sosial dengan cara menahan pandangan. Anjuran ini pun dianalisis berakar dari QS 24 : 30-31 yang memerintahkan kepada baik laki-laki maupun perempuan untuk menahan pandangannya. Pandangan yang dimaksud disini selain pandangan indra yang bersifat otonomi (memandanga dengan teliti) juga diperlukan adanya pembatasan pandangan imajinasi. Karena dari pandangan imajinasi yang liar dan tak terkontrol inilah yang juga kemudian dapat menciptakan hasrat-hasrat yang tak terbendung sehingga mendorong pelakunya untuk mengaktualkannya pada realitas.
Dari sini dapat pula kita luruskan terkait pandangan yang bias hijab. Pandangan yang memandang bahwa yang pertama hijab hanya selalu dilekatkan pada perempuan, yang kedua bahwa hijab hanya berputar pada persoalan fisik (jilbab fisik) dan yang ketiga ialah kain jilbab/kerudung meniscayakan perempuan aman dari gangguan hingga pelecehan.
Disamping itu, dalam pandangan yang lebih jauh, dalam buku “Keindahan dan Keagungan Perempuan’, Ayatullah Jawadi Amuli melihat bahwa kalangan yang menganggap bahwa hijab adalah belenggu sehingga menjadi pertanda kelemahan dan keterbatasan pada diri perempuan adalah sebuah pahaman yang keliru. Justru menurut beliau hijab bukan hanya berkaitan dengan diri perempuan secara khusus, bukan pula terkait dengan pria dan keluarga. Tetapi hijab adalah suatu bentuk perlindungan dan kehormatan perempuan serta merupakan hak Allah SWT. Seluruh anggota keluarga dan masyarakat, hingga bahkan khususnya perempuan adalah para pengemban amanat ilahi. Olehnya, kedudukan, kehormatan dan kemuliaan tersebut merupakan hak Allah yang telah diberikan kepada perempuan.
Sebagai penyimpulan, terlepas dari adanya perdebatan terkait wajib atau tidaknya penggunaan sebuah kain untuk menutupi kepala pada perempuan, hal fundamental yang perlu dibangun ialah terkait konsep kontruksi hijab itu sendiri. Apabila baik perempuan dan laki-laki telah menggunakan hijab, membuat suatu batasan hasrat dalam relasi sosialnya, tentu dipandang cukup mampu untuk menghindari hal-hal yang kemudian tidak diinginkan. Jikapun kemudian ada yang ingin membangun relasi-relasi hasrat itu, islam sendiri telah membuat suatu wadah yang dinamakan keluarga, sebagai sebuah institusi yang sifatnya lebih intim untuk membangun hubungan lebih dalam. Adanya hijab dalam ranah sosial juga akan turut membantu menjaga keluarga untuk tetap harmonis. Tentu, dengan adanya sel-sel terkecil masyarakat (keluarga) yang harmonis, dapat menjadi basis yang kuat demi mengadakan transformasi sosial kearah yang lebih baik.
***

No comments:

Post a Comment

Designed Template By Seo Blogger Templates - Powered by Karbala Studio